SURABAYA - “Di mana pun kamu berdiri, di situlah kamu memiliki beban dan tanggung jawab,” ucap pria paruh baya tersebut. Mata sayunya masih menunjukkan tekad kuat seolah api bersemayam di dalamnya. Kepala yang bersih dari semrawut rambut, dipadu kaos putih dan celana hitam, kalung menjuntai, serta tas selempang coklatnya setia bertengger di bahu. Hanya butuh dua belokan singkat dari Kapasan Dalam, sampailah di kediaman sang Sejarah Hidup Kampung Pecinan Surabaya, Dony Djhung.
Sejak muda, pria berusia 73 tahun itu menyukai barang kuno yang katanya mengandung banyak sejarah. Dari situlah ia terus mengasah keingintahuannya hingga budaya Pecinan merasuk penuh dalam jiwanya. Masa senja Dony, ia habiskan untuk berdedikasi kepada kampung tempat tinggalnya tersebut.
Cara membantunya tergolong mudah, tinggal menjawab rasa penasaran dari orang yang berkunjung. Setelahnya, ia akan membawa mereka untuk berwisata Kampung Pecinan di Kapasan Dalam, bahkan hingga ke daerah Jembatan Merah jika waktu memungkinkan. Hal ini juga tak lepas dari dukungan keluarga, salah satunya sang istri yang menjadi sumber semangat dalam hidup Dony. “Itukan demi untuk kebaikane kalian-kalian ini semua menambah ilmu, wawasan gitu loh. Biar suatu saat bisa sukses kalian lah gitu. Lebih sukses, lebih maju, lebih semangat gitu,” tutur Kristina.
Sebelum menjadi kampung wisata, kawasan ini memiliki julukan Kampung Kungfu. Dikarenakan dulunya lingkungan ini terkenal akan kemampuan warganya dalam bela diri Kungfu. Kendati demikian, jumlahnya saat ini terus merosot. “Sudah banyak yang meninggal, hanya di sini sekarang tinggal dua. Ko Sing, yang rumahnya di sini tapi orangnya sudah tua banget. (Usia) delapan puluh lebih, kesehatannya juga kurang dan yang satunya juga pernah lumpuh itu pun keadaannya kurang sehat, Suk Dony sendiri.”
Kedatangan dari wisatawan—para mahasiswa—menjadi agenda yang tak pernah Dony lewatkan, walau sempat berhenti karena insiden kebakaran rumahnya serta pandemi. Kediaman Dony yang sebenarnya situs budaya itu sendiri, kini tak tersisa banyak. Kebakaran yang menimpa rumah mukanya ternyata menjalar dan membabat habis tempat tinggalnya sendiri. Dari seluruh peristiwa ini yang tersisa hanyalah kenangan pahit dan barang-barang yang tak lagi bisa dipulihkan ke semula, tak terkecuali perasaannya.
Meski Dony masih bisa menceritakan pengalamannya dengan berseri, matanya tak dapat berbohong. Kehidupan Dony beberapa tahun belakangan membuatnya berada di fase terendah dalam hidupnya. Barang antik yang ia koleksi hingga irit makan berbulan-bulan lenyap, pesangon dari pekerjaannya selama 33 tahun hanya sembilan juta, hingga kepulangan anak bungsunya.
“Suk Dony sebetulnya sudah nggak kuat, tapi biarlah kan juga demi Suk Dony biar dapat pahala dari Tuhan. Bagaimanapun nanti kalau besok Suk Dony kapan-kapan dipanggil Tuhan pasti tersenyum,” ucapnya.
Dony muda masih belum sepenuhnya mengerti betapa berharga kehidupannya. Selama separuh umurnya, ia pergi berkelana memperoleh pengalaman termasuk pelajaran bahwa maut senantiasa di sisinya. Beberapa insiden kerap membawa Dony hampir berjumpa maut. Beruntung, Dony selalu menjumpai orang-orang yang menyelamatkan dirinya. Kini, dengan bertemu para mahasiswa saja merupakan sebuah kesempatan tak ternilai baginya yang terus menerus kehilangan.
Usia tak lagi menjadi penghalang bagi Dony saat berhadapan dengan generasi muda. Ia memiliki sejuta cita yang berharap dapat dilanjutkan oleh generasi tersebut. “Bagaimanapun saya kira kalau semua masyarakat atau rakyat Indonesia ini bisa saling mengerti memahami satu sama yang lain, saya kira bangsa dan negara ini bisa dikatakan pelangi terindah untuk mata bangsa yang lain,” pungkasnya.
Jika ditanya mengapa ia masih sangat bersemangat, sejujurnya Dony pun tidak memiliki alasan yang pasti. Tawa cengengesannya mengikuti samar. Mungkin satu hal yang bisa ia jamin adalah berkat pembawaan dirinya yang tidak pamrih dan gemar menolong. Semua ini bukan semata-mata untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk seluruh warga negara bangsa Indonesia tercinta.
Comments
Post a Comment