SURABAYA, On The News– Sore itu di sekitar Jalan Genteng, tepatnya di kawasan Pasar Genteng, tampak sepasang anak perempuan. Kakinya beralaskan sandal jepit yang malu-malu menawarkan dagangannya. “Kak tisunya kak”, “Mau beli tisu gak kak,”. Kata-kata yang terus diucapkan anak-anak itu kepada para pejalan kaki yang lalu lalang, berharap tisu yang digenggamnya laku terjual. Tatapan dan raut wajahnya polos. Mereka yang ditawari tisu kerap tak sudi menolak. Tapi sore itu, tisu yang ditentengnya tak kunjung banyak berkurang.
Mereka adalah Imelda dan Putri, sepasang kakak beradik yang hidup bersama ibunya, Bu Desi dan juga ayah tirinya. Ibu mereka tak ikut turun berjualan, hanya berjaga dan mengawasi mereka dari kejauhan. Imelda dan Putri suka berdagang di kawasan Pasar Genteng, karena kawasan itu ramai akan pengunjung yang biasanya datang memburu buah tangan, juga banyak teman-teman mereka berada di sana.
Setiap hari ramai orang disini, kadang juga beli tisu jadinya senang jualan di sini, lumayan buat sangu sekolah dan bantu-bantu ibu, ujar Imelda dengan sumringah.
Pilihan untuk berdagang tisu keliling tak datang dari paksaan ibunya, melainkan kemauan pribadi Imelda yang memang berniat untuk membantu keluarga di tengah keterbatasan ekonomi.
Saya tidak memaksa anak saya, tapi mereka memang keinginan mereka sendiri untuk membantu ibunya karena keadaan ekonomi kami yang sulit, ucap ibu.
Imelda kini berusia 14 tahun dan duduk di kelas 2 SMP, sementara adiknya Putri masih berusia 7 tahun yang baru memasuki tahun pertamanya menjadi siswi sekolah dasar. Usai bersekolah, mereka langsung bergegas untuk berjualan, dan tak lagi sempat untuk bermain. Setiap harinya, hanya Rp. 50.000 hingga Rp. 60.000 upah yang bisa mereka bawa pulang ke rumah.
Kalau lebih kita jadikan buat uang sangu sekolah, tapi kalo nggak ada lebih, semuanya kasih ke ibu buat kebutuhan beli makan juga buat bayar kos, ucap Imelda dengan lesu.
Tak sampai larut, sekitar jam 20.00 mereka sudah kembali ke rumah, karena pagi hari mereka harus bersekolah.
Sebenarnya, Imelda sudah bekerja sejak ia berada di usia yang sama seperti adiknya saat ini. Ia sebelumnya pernah membuat kue dan juga menjual gorengan. Akan tetapi, usaha itu harus ia kubur dalam-dalam karena saat itu adalah saat pandemi covid-19 melanda, harga bahan baku dan minyak mendadak mengangkasa, membuat mereka sekeluarga tak mampu untuk melanjutkan hingga harus beralih ke pekerjaannya yang sekarang.
Awalnya, menjadi penjual tisu keliling tak mudah bagi Imelda. Selain merasakan kerasnya dunia, Ia juga menerima cercaan-cercaan pahit dari teman sekolahnya akan pekerjaan yang digelutinya. Semua itu hanyalah omong kosong dan tidak membuat Imelda untuk berhenti.
Aku nggak peduli mereka bilang apa, yang penting aku jualan secara halal dan ga minta-minta sebut Imelda sambil tersenyum.
Meski sehari-hari mengandalkan hidup dari hasil jualan tisu, Imelda dan Putri tak ragu untuk bermimpi. Putri membayangkan bahwa dirinya kelak menjadi dokter dan Imelda berharap agar cita-citanya menjadi pegawai bank.
Pengen jadi pegawai bank aja, supaya bisa nyetak uang, ujar Imelda sambil terkekeh.
Anak-anak berdagang tisu tak hanya biasa ditemukan di sekitar kawasan Jalan Gubeng. Mereka pun ada di perempatan-perempatan, atau di dekat lampu lalu lintas dan bahkan berkeliling di warung-warung. Banyak juga yang tak peduli dengan kehadiran mereka, ada juga yang terganggu. Sehingga tak jarang jika mereka harus berjuang untuk menghindar dari hadangan Satpol PP.

Comments
Post a Comment