SURABAYA - Becak, dengan deru roda yang perlahan, mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kerap tersaingi oleh ojek online dengan kecepatan dan kemudahannya. Di tengah gegap gempita transportasi berbasis aplikasi di kota Surabaya yang kian modern, terselip kisah pilu dari para penarik becak yang semakin tersisih. Terdorong oleh arus kemajuan zaman, beberapa tukang becak tetap berjuang bukan karena pilihan, melainkan karena usia yang telah lanjut, keterbatasan keterampilan, serta kurangnya modal untuk beralih ke pekerjaan lain.
Menurut data terbaru dari Polrestabes Surabaya tahun 2023, jumlah becak yang beroperasi di kota Surabaya kini tersisa sekitar 500 unit. Meski angka becak terpampang banyak, namun mereka kian meredup seiring penghasilannya yang menurun.
Junaidi, yang telah menarik becak selama lebih dari 40 tahun sejak tahun 1978 di kawasan Ikan Mungsing, kini menghadapi kenyataan hidup yang sangat memilukan. Di usianya yang telah menginjak 69 tahun, ia tetap harus menarik becak karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya.
Hidup bersama sang istri tercinta dengan penghasilan yang tak menentu, Junaidi kerap kali harus bergantung pada hutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kesulitan ekonomi yang kian mencekik membuatnya merasakan betapa beratnya perjuangan hanya untuk sekedar bertahan hidup. Setiap hari, dengan tubuh yang semakin renta, Junaidi terus berjuang di tengah kerasnya kehidupan kota yang semakin modern, meski harapan akan perubahan nasib semakin hari semakin menipis.
Bagi Junaidi, menggunakan becak motor justru lebih sulit karena tidak memiliki pelanggan tetap dan kesulitan untuk membeli bensin. "Kadang dua hari nggak narik dek, kadang cuma dapat 20 ribu, 10 ribu. Ya kadang-kadang nge-bon, lah sama orang. Ya gimana lagi", tuturnya dengan wajah pasrah.
Begitu pula dengan Jailani, yang kini berusia 64 tahun, ia mengakui bahwa menjadi penarik becak saat ini sangatlah sulit mendapatkan pelanggan. "Sekarang becak banyak yang berhenti dan nggak laku, kalah sama tukang gojek," katanya dengan nada penuh kegetiran.
Jailani tinggal bersama istri dan satu cucu, namun penghasilan yang tidak menentu membuat kesejahteraan keluarganya semakin terpuruk. Meski demikian, Jailani hanya mengandalkan kesabaran dalam menghadapi hari-harinya di tengah ketidakpastian masa depan. "Sedapat-dapatnya, kalau nggak dapat ya pulang," ujarnya sambil tersenyum tipis, menyembunyikan kesedihan yang mendalam di balik senyumnya.
Sebelum menjadi tukang becak, Jailani pernah bekerja di gudang dan bangunan yang ia tinggalkan akibat fisiknya yang tak mampu menahan beban keras kerjanya. "Mau kerjaan apa lagi, ngga punya uang," ujar Jailani tetap bertahan sebagai penarik becak.
Kisah serupa dialami oleh Uun Mohan Hariyanto, seorang pria berusia 64 tahun di kawasan BG Junction, yang telah mengayuh becak sejak tahun 2010. Dahulu, ia bekerja sebagai sopir pribadi, namun karena tidak memenuhi persyaratan, ia kehilangan pekerjaan tersebut. Meski usia sudah senja, semangatnya untuk terus bekerja tak pernah pudar.
Sayangnya, pendapatan dari menarik becak jauh dari cukup. "Dulu saya masih bisa dapat 200, 250 sampai 300 ribu, sekarang jangankan 200, 100 ribu aja kadang-kadang dapat, kadang tidak," keluhnya dengan nada pilu.
Dengan tarif sukarela, ia harus bekerja sejak pukul 5 pagi, namun hingga sore yang terik itu, ia baru sekali membawa penumpang. Kehidupan yang keras dan pendapatan yang kian menipis membuat hari-hari Uun Mohan dipenuhi ketidakpastian, tetapi ia tetap berjuang untuk bertahan di tengah segala keterbatasan.
Kendati pendapatan mereka kian menurun dan sering kali tak mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka tetap bekerja dengan penuh harapan dan semangat. Dari pagi hingga malam, di bawah terik matahari dan hujan, ketiganya terus mengayuh becak dengan tekad yang tak pernah surut di tengah ketidakpastian hidup.
Comments
Post a Comment