Perjuangan Rahayu Sulistyowati untuk menghibur penonton dengan memperagakan seperti orang jatuh ketika open mic di Eustacio Caffe. (OTNews/Ikrar Raditya). Usaha mengukir tawa bagi seorang stand-up comedian ternyata tidak mudah, apalagi perempuan. Mereka tidak hanya berjuang menjadi komika yang lucu, namun ada usaha lebih untuk bisa beradaptasi di bidang yang bermayoritaskan laki-laki tersebut. Hal itulah yang dialami oleh Meirick (21) dan Rahayu (23) yang menjadi anggota dari komunitas stand-up comedy Surabaya. Menjadi minoritas di antara mayoritas para comic laki-laki yang ada dalam komunitas tersebut, membuat mereka sering mendapatkan respon berbeda dari penonton dan orang-orang sekitar. “Waktu pertama kali maju open mic (ajang mencoba materi stand up bagi para komika), respon penonton tuh sudah kayak ‘ah basi’ gitu. Pernah sakit hati sih, bukan karena comic-comicnya tapi karena respon penonton yang lebih kena ke mental. Bagi penonton, comic cewek sudah dipandang underestimate kalau ga lucu,” ucap Meirick Bernadetha, ketika ditemui di lokasi Open Mic Stand Up Surabaya, pada 22 Mei 2024. Pengalaman itu sedikit menggores hati kecil Meirick yang sudah berusaha menghibur penonton. muncul begitu banyak usaha yang ia lakukan agar bisa membuktikan bahwa standup comedy itu tidak memiliki jenis kelamin, melainkan jiwa yang bahagia ketika melihat orang-orang tertawa. Dan jiwa tersebut bisa ada pada siapapun, termasuk Perempuan. Waktu merupakan hal terbesar yang perlu ia korbankan. Ketika ingin melakukan combud atau comedy buddy (istilah ketika comic ingin mendiskusikan materi stand up), Meirick harus rela menyesuaikan waktunya dengan comic-comic senior yang semuanya laki-laki. Hal itumenjadi kesulitan tersendiri bagi Meirick, karena setiap hari harus ikut nongkrong dan kumpul-kumpul dengan para seniornya yang tak punya batasan waktu. “Kalau comic cowok itu nongkrong sekalian combud nya dari tengah malam sampai subuh, sedangkan kalau cewek kebanyakan nongkrong pun engga sampe malem, pasti ada jam malamnya” Kata Meirick. Namun karena tekad yang kuat, ia rela mengikuti kebiasaan para seniornya agar bisa dibimbing menulis materi yang lucu dan membentuk sense humor dalam dirinya. Meirick mempunyai mimpi bisa menjadi komika yang besar dan dapat menyuarakan tentang nilai-nilai perempuan, kesetaraan gender, dan melawan stigma masyarakat yang berpikir bahwa perempuan tidak layak berada di ranah publik. Dengan membentuk sense humor dalam dirinya, Meirick ingin menyurakan hak-hak perempuan lalu membalutnya dengan comedy sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Hal serupa dirasakan juga oleh Rahayu Sulistyowati, wanita berusia 23 tahun yang tergabung dalam komunitas Stand Up Surabaya. Saat pertama masuk komunitas, Rahayu sempat takut karena melihat anggota komunitas kebanyakan diisi oleh laki-laki. Namun karena tujuan yang tersimpan dalam hatinya, akhirnya dia memutuskan untuk tetap bergabung dan belajar menjadi stand up comedian. Sembari menjalani profesi sebagai komika, Rahayu sering mendapatkan respon negatif dari orang-orang terdekatnya, mulai dari teman, kerabat, hingga keluarga. Banyak yang merespon bahwa profesi ini tidak cocok bagi seorang perempuan, dan mengatakan bahwa semenjak ia menjadi standup comedian, ia menjadi lebih sering mengeluarkan kata-kata kasar. Rahayu Sulistyowati komika perempuan pada komunitas stand-up comedy Surabaya. (OTNews/Ikrar Raditya). Rahayu memandang respon tersebut sebagai bentuk penolakan dari teman-temannya yang kurang setuju kalau dia menjadi seorang standup comedian. Bagi mereka, aneh jika seorang perempuan berusaha untuk melucu, perempuan itu harusnya tetap anggun dan tidak perlu menghibur banyak orang. Hal itu direspon oleh Faiz Kusuma, salah satu komika yang sudah tiga tahun menjadi anggota komunitas stand up Surabaya. “Masalahnya adalah standup comedy di Indonesia itu masih baru. Dan juga comic perempuan yang gopublik belum terlalu banyak, sehingga masyarakat kita itu belum terbiasa” Itulah penyebab yang membuat comic perempuan sering diunderestimate oleh orang-orang bahwa mereka tidak cocok menjadi stand up comedian. Stigma ini terbentuk karena minimnya contoh yang dilihat oleh masyarakat, bahwa perempuan juga bisa melucu. “Perjuangan comic perempuan memang harus lebih besar, soalnya referensi tontonan mereka sedikit. Kalau cowok kan udah banyak tuh di Indonesia yang bisa jadi patokan, sedangkan perempuan ini referensi yang bisa dijadikan contoh di Indonesia itu masih dikit banget, jadi mereka harus langganan netflix biar bisa nonton komika luar negri” Perjuangan yang besar menuntut pengorbanan, itulah yang dirasakan oleh Meirick dan Rahayu. pergi disaat gelap, pulang ketika matahari sedang menyayat adalah keseharian yang dilakukan oleh mereka berdua. Rahayu, yang juga memiliki pekerjaan diluar stand up sebagai karyawan di Toko Emas, rela memotong jam tidurnya untuk bisa melakukan combud bersama senior nya dikomunitas. Combud ini dilakukan agar Rahayu dapat membuat satu set materi yang lucu dan bisa dibawa ke panggung open mic. “senior stand up itu kebanyakan free nya di jam 11 malam keatas. Sedangkan di tempat kerjaku jam setengah delapan pagi sudah check lock. Biasanya aku tidur itu pas pulang kerja, jam 5 sore hingga jam 10 malam. Setelah itu aku langsung siap-siap buat pergi combud sampai pagi, terus langsung berangkat kerja lagi” ungkap Rahayu. Ketika mata masyarakat masih mengarah pada gender dan jenis kelamin, usaha Meirick dan Rahayu pun tak pernah padam untuk melawan hal itu. Hingga saat ini mereka berdua masih rajin menulis materi dan open mic setiap minggunya sesuai dengan jadwal komunitas. Sampai kapan mereka menjalani profesi ini, Meirick dan Rahayu tidak bisa memberikan jawaban pasti. “Selama masyarakat masih memandang bahwa perempuan tidak bisa menjadi stand up comedian, maka kami tidak akan berhenti” ucap Meirick dan Rahayu. |
Comments
Post a Comment