SURABAYA - Hari silih berganti, perpisahan pun menanti. Di bawah sorot matahari suara tawa kebersamaan para ibu segera tergantikan suara dentuman kedatangan alat mekanik penggerak kehancuran rumah mereka. Kehangatan secangkir kopi bersama asap tipis rokok dari pos ronda kala petang, seketika berubah dingin setelah malam itu. Malam dimana warga Kampung Jemur Gayungan RT 1 RW 3 harus menelan kepahitan di tengah jamuan pesta tahun baru 2024 silam. “Ini malam tahun baru terakhir kita.”, kabar Anom, Ketua RT 1 jadi awal mula kisah ini.
Kabar terburuk yang sampai ke telinga warga malam itu, perlahan mengubah suasana kampung dengan 22 rumah tergusur bakal underpass Taman Pelangi. “Akhire kampung e ngeri-ngeri sedap”, ujar Anom. Sebagai pusat informasi nomor satu, Anom telah lama mengetahui simpang siur proyek akhir Wali Kota sebelum turun takhta. “Sebenarnya sudah lama dari Maret 2023 banyak komplain dari pengendara, sehingga dapat masukan supaya warga segera dibebaskan. Tapi baru aku floor ke warga Desember akhir”, curhat Anom yang telah lama menutup rapat kemalangan tersebut dari tetangganya.
Amukan pengendara, kecelakaan, dan kemacetan yang tak pernah absen dari Jalan Ahmad Yani menggerakkan niat Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menggarap proyek underpass di kawasan Taman Pelangi. Seolah membawa solusi dari kemacetan tersebut, pemimpin akrab disebut Cak Eri itu menggusur penduduk di tengah Taman Pelangi dengan menyuguhkan ganti rugi yang turut menimbulkan polemik. Mulai dari tanah sengketa hingga pendanaan yang tak sesuai ekspektasi rakyat.
Terasa pilu, ternyata penggusuran ini telah diprediksi oleh Vita, pendatang baru tinggal kontrak disana. Tapi ia tak menduga kesedihan berpisah dengan warga yang selalu merangkulnya. “Sejak awal pindah sebenarnya saya sudah memprediksi, ga mungkin tinggal di daerah kecil ini. Nantinya pasti ada perubahan untuk pelebaran taman pelangi atau lainnya. Jadi saya ga kaget kalau digusur, cuma ya sedih aja pisah sama warga sini.”, ujar Vita sembari merapikan tanaman yang akan dibopong ke rumah barunya.
Meski polusi udara di kampung itu tak baik bagi anaknya yang baru berusia setahun, tapi bagi Vita warga sangat baik padanya layaknya saudara. “Saya notabennya orang baru disini, tapi ga kerasa baru, dirangkul banget ayem. Bahkan ketika saya kerja mereka yang ngemong anak saya.”, timpal Vita. Ibu paling muda di kampung ini pun menceritakan kekeluargaan warga ketika rumahnya kebanjiran, ia diam saja tiba-tiba warga datang membersihkan rumahnya.
Perpisahan juga makin dekat dirasa oleh pemilik warung kopi, Hamida. Pasalnya ia dan warga telah diberi waktu dua bulan hingga 29 Juni ia dan warga harus bebas dari lahan kelahirannya itu. “Ya semoga saja...”, doa Hamida untuk warga yang hanya sanggup ia lanjutkan dengan meneteskan air mata. Hamida berharap kelak diberikan kesempatan bertemu dengan keluarga tak sedarahnya meski telah pindah rumah.
Mau bagaimana lagi? Hanya kalimat itulah mampu mewakili perasaan warga kampung Taman Pelangi ini. Rasa tak berdaya dan amarah mereka kubur dalam-dalam. “Saya merasa warga dibohongi. Pemerintah pinter nggobloki rakyat kecil awal bilang pelebaran taman pelangi tapi buka tender untuk underpass.”, kecewa Anom. “Benar mengatasi kemacetan, tapi kredit motor dimurahin, konyol!”, keluh Anom.
Tak rela kebersamaan mereka sebagai warga dan keluarga, tak merubah kenyataan mereka dipaksa ikhlas dan hanya bisa pasrah. Hari demi hari tersisa mereka habiskan untuk berbenah pindah ke rumah baru atau ke rusun tempat sementara warga terdampak sengketa belum terselesaikan.
Comments
Post a Comment